Wednesday 4 March 2015

STRATEGI PENGEMBANGAN DAN PELESTARIAN ASWAJA

1.      Strategi Pengembangan dan Pelestarian Aswaja Masa Pada Rasulullah dan Sesudahnya
Pada  zaman Rasulullah SAW. Segala masalah yang timbul, baik masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan keimanan dan ibadah, maupun masalah-masalh sosial dikembalikan pada Rasulullah SAW, kemudian Allah menurunkan wahyu untuk memberi ketetapan hukumnya. Akan tetapi sering juga para sahabat melaksanakan sesuatu dengan pemikirannya sendiri, karena belum adanya ketentuan dari Rasulullah. Kemudian mereka datang kepada Rasulullah dan melaporkan tindakannya. Jika Rasulullah setuju atau membenarkan, sahabat yang lain ikut melaksanakannya. [1]
Sepeninggal Rasulullah, generasi penerus adalah para sahabat, yaitu seluruh kaum muslimin yang menerima langsung ajaran Islam dari Rasulullah SAW. Sebagai generasi pertama ummat Islam mereka bukan hanya mengerti materi ajarannya, tetapi juga memahami latar belakang dan bagaimana Rasulullah SAW melaksanakannya. Maka dari itu peran mereka dalam proses pemahaman, pewarisan dan pengembangan agama Islam sangat penting. Secara keseluruhan mereka dapat dipercaya, meskipun secara individu berbeda-beda tingkatnya.
Para Sahabat meneruskan ajaran Islam kepada generasi kedua yang disebut Tabi`in. Pada zaman sahabat dan tabi`in ini, wilayah Islam mulai meluas, persoalan kian banyak, generasi sahabat semakin berkurang, sehingga dirasa perlu adanya sarana baru untuk pewarisan ajaran Islam, tidak cukup hanya denganlisan tetapi perlu catatan. Mushaf Al Quran ditulis atas usulan dari Umar Bin Khattab r.a. Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq mengusahakan adanya buku catatn Mushaf berisi ayat-ayat Al Qur`an yang tersusun tertib, lengkap dan benar untuk menjadi rujukan baku bagi kaum muslimin sepanjang zaman. Upaya ini selesai tuntas pada masa Khalifah Utsman Bin Affan. Dimana Khalifah Utsman Bin Affan ini menetapkan satu-satunya  Mushaf yang disepakati untuk kaum muslimin sepanjang zaman.
Di samping Mushaf, juga dirasa perlu pencatatan hadits Rasulullah SAW yang jumlahnya lebih banyak dari pada ayat-ayat Al Quran. Upaya pencatatan hadits ini baru dimulai secara resmi pada masa khalifah Umar bin Abdul Azis (90 H).
Generasi pewaris setelah tabi`in adalah tabi`it tabi`in. Pada zaman ini agam Islam sudah berkembang sangat luas. Pemeluk agama Islam sudah terdiri dari berbagai bangsa, dan berasal dari berbagai agama. Hubungan dengan berbagai pihak bertambah banyak. Semuanya mendorong perkembangan keilmuan di kalangan kaum muslimin baik ilmu keislaman maupun ilmu lainnya. Akibat tantangan ini akhirnya muncullah upaya pengembangan ajaran Islam antara lain :
a.   Ilmu Al Quran (ilmu tajwid, ilmu qiraat, asbabun nuzul dll),
b.  Ilmu hadits (sanad, matan, rawi dll.),
c.   Ilmu alat (Ilmu bahasa, Sejarah, Ilmu Hisab)
Pada periode selanjutnya lahirlah pakar-pakar ajaran Islam, yaitu tokoh-tokoh yang mampu memahami sendiri Al Quran dan Hadits, dan menemukan pendapat-pendapat mengenai beberapa hal yang timbul atau merumuskan sebagian ajaran Islam supaya mudah diikuti oleh kaum awam. Mereka disebut dengan Mujtahid[2] (Mujtahidin : Jamak), yang berijtihad dengan kemampuan berfikir maksimal.
Pada masa ini ajaran Islam dapat terstruktur dan dibukukan rapi sesuai dengan bidang ajaran Islam yang ada, sehingga mudah difahami oleh seluruh pemeluk agama islam, dan dapat diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya untuk kemudian diberikan tambahan penjelasan dan pengembangan sesuai dengan perkembangan zaman.

2.      Strategi Pengembangan  dan Pelestarian Aswaja di Indonesia
Ajaran Islam yang masuk ke Indonesia adalah ajaran yang berfaham Ahlussunnah Wal jamaah. Ajaran ini terus dikembangkan oleh para wali dan muballigh, serta para ulama berabad-abad lamanya, melalui jalur pendidikan, pengajaran dan kegiatan dakwah rutin lainnya. Secara turun temurun para ulama mengembangkan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan mengkondisikan dengan tradisi bangsa Indonesia.
Baru setelah masuknya pembaharuan islam ke Indonesia, pengembangan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah di Indonesia mulai mendapat tantangan. Para ulama kemudian mengatur strategi untuk menghadapinya dengan mengintensifkan pertemuan-pertemuan yang akhirnya melahirkan NU. Dengan tujuan utama adalah  mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam Ahlussunah Wal Jamaah.
Dalam rangka pelestarian dan pengembangan Ahlussunnah Waljamaah NU menempuh berbagai cara, baik jalur pendidikan, pengajian-pengajian, maupun amalan tradisi yang menjadikan cirri khas warga NU. Melalui jalur pendidika, NU mempunyai andalan pondok pesantren untuk mengembangkan Ahlussunnah Wal Jamaah.
Dengan meningkatkan silaturrahmi antara ulama pesantren, NU memberikan motivasi untuk mengembangkan metode dan sisitem pendidikan di pesantren. Materi pengajaran kitab-kitab kuning yang sudah melembaga di pesantren juga tetap dipertahankan dengan cara mengadakan penelitian terhadap kitab-kitab yang diajarkan untuk dapat diketahui, apakah kitab-kitab itu hasil karya para ulama Ahlussunah wal Jamaah atau bukan.
Di samping itu telah didirikan lembaga-lembaga pendidikan formal dalam pesantren maupun di luar pesantren yang mengajarkan pendidikan agama Islam ala Ahlussunnah Wal Jamaah. Pendidikan formal ini terdiri dari madrasah dan sekolah umum, juga perguruan tinggi.
Untuk menyatukan langkah pengajaran, telah dirumuskan kurikulum yang dikeluarkan oleh Lembaga Pendidikan Maarif NU, yaitu lembaga dalam NU yang bertugas membina dan mengembangkan pendidikan.
Nahdlatul Ulama tidak  berhenti pada pendidikan di pesantren, madrasah dan sekolah saja. Tetapi dalam rangka mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam Ahlussunnah Waljamaah, para ulama NU secara rutin memberikan pengajian di masjid dan mushalla dengan membaca kitab-kitab yang kesemuanya berdasarkan Madzhab Ahlussunnah Wal Jamaah.
Banyak strategi variatif untuk melestarikan Ahlussunnah Wal Jamaah yang dilaksanakan di masyarakat untuk kalangan muda, tua, pria ataupun wanita. Pelestarian Aswaja tidak dapat dipisahkan dengan adat-istiadat di masyarakat. Sehingga adat yang dilaksanakan harus sesuai dengan syariat Islam.[3]




[1] Dalam ilmu hadits dinamakan dengan hadits taqriri
[2] Secara bahasa mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad. Dan ijtihad secara bahasa yaitu mencurahkan segenap kemampuan dan usaha untuk melakukan sesuatu.

[3] Tahlilan, Dibaan, Hadrah, Khatmil Quran dll.

UNGGULAN

6 LANGKAH UNTUK MEMBENTUK NILAI-NILAI ISLAM YANG CINTA DAMAI DI NUSANTARA

Bukanlah suatu problematika apabila umat islam menerapkan beberapa madzhab fiqh di Indonesia. Bukanlah masalah jika umat Islam menghadapi K...