1. Strategi Pengembangan dan Pelestarian Aswaja Masa Pada Rasulullah dan Sesudahnya
Pada zaman
Rasulullah SAW. Segala masalah yang timbul, baik masalah-masalah yang berkaitan
langsung dengan keimanan dan ibadah, maupun masalah-masalh sosial dikembalikan
pada Rasulullah SAW, kemudian Allah menurunkan wahyu untuk memberi ketetapan hukumnya.
Akan tetapi sering juga para sahabat melaksanakan sesuatu dengan pemikirannya
sendiri, karena belum adanya ketentuan dari Rasulullah. Kemudian mereka datang
kepada Rasulullah dan melaporkan tindakannya. Jika Rasulullah setuju atau membenarkan,
sahabat yang lain ikut melaksanakannya. [1]
Sepeninggal Rasulullah, generasi penerus adalah
para sahabat, yaitu seluruh kaum muslimin yang menerima langsung ajaran Islam
dari Rasulullah SAW. Sebagai generasi pertama ummat Islam mereka bukan hanya mengerti
materi ajarannya, tetapi juga memahami latar belakang dan bagaimana Rasulullah
SAW melaksanakannya. Maka dari itu peran mereka dalam proses pemahaman,
pewarisan dan pengembangan agama Islam sangat penting. Secara keseluruhan
mereka dapat dipercaya, meskipun secara individu berbeda-beda tingkatnya.
Para Sahabat meneruskan ajaran Islam kepada
generasi kedua yang disebut Tabi`in. Pada zaman sahabat dan tabi`in ini,
wilayah Islam mulai meluas, persoalan kian banyak, generasi sahabat semakin
berkurang, sehingga dirasa perlu adanya sarana baru untuk pewarisan ajaran
Islam, tidak cukup hanya denganlisan tetapi perlu catatan. Mushaf Al Quran
ditulis atas usulan dari Umar Bin Khattab r.a. Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq
mengusahakan adanya buku catatn Mushaf berisi ayat-ayat Al Qur`an yang tersusun
tertib, lengkap dan benar untuk menjadi rujukan baku bagi kaum muslimin
sepanjang zaman. Upaya ini selesai tuntas pada masa Khalifah Utsman Bin Affan.
Dimana Khalifah Utsman Bin Affan ini menetapkan satu-satunya Mushaf yang disepakati untuk kaum muslimin
sepanjang zaman.
Di samping Mushaf, juga dirasa perlu pencatatan
hadits Rasulullah SAW yang jumlahnya lebih banyak dari pada ayat-ayat Al Quran.
Upaya pencatatan hadits ini baru dimulai secara resmi pada masa khalifah Umar
bin Abdul Azis (90 H).
Generasi pewaris setelah tabi`in adalah tabi`it tabi`in. Pada
zaman ini agam Islam sudah berkembang sangat luas. Pemeluk agama Islam sudah
terdiri dari berbagai bangsa, dan berasal dari berbagai agama. Hubungan dengan
berbagai pihak bertambah banyak. Semuanya mendorong perkembangan keilmuan di
kalangan kaum muslimin baik ilmu keislaman maupun ilmu lainnya. Akibat
tantangan ini akhirnya muncullah upaya pengembangan ajaran Islam antara lain :
a. Ilmu Al Quran (ilmu tajwid, ilmu qiraat, asbabun
nuzul dll),
b. Ilmu hadits (sanad, matan, rawi dll.),
c. Ilmu alat (Ilmu bahasa, Sejarah, Ilmu Hisab)
Pada periode selanjutnya
lahirlah pakar-pakar ajaran Islam, yaitu tokoh-tokoh yang mampu memahami
sendiri Al Quran dan Hadits, dan menemukan pendapat-pendapat mengenai beberapa
hal yang timbul atau merumuskan sebagian ajaran Islam supaya mudah diikuti oleh
kaum awam. Mereka disebut dengan Mujtahid[2]
(Mujtahidin : Jamak), yang berijtihad dengan kemampuan berfikir maksimal.
Pada masa ini ajaran Islam
dapat terstruktur dan dibukukan rapi sesuai dengan bidang ajaran Islam yang
ada, sehingga mudah difahami oleh seluruh pemeluk agama islam, dan dapat
diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya untuk kemudian diberikan tambahan
penjelasan dan pengembangan sesuai dengan perkembangan zaman.
2.
Strategi Pengembangan dan Pelestarian Aswaja di Indonesia
Ajaran Islam yang masuk ke Indonesia adalah
ajaran yang berfaham Ahlussunnah Wal jamaah. Ajaran ini terus dikembangkan oleh
para wali dan muballigh, serta para ulama berabad-abad lamanya, melalui jalur
pendidikan, pengajaran dan kegiatan dakwah rutin lainnya. Secara turun temurun
para ulama mengembangkan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah di tengah-tengah
kehidupan masyarakat dan mengkondisikan dengan tradisi bangsa Indonesia.
Baru setelah masuknya pembaharuan islam ke
Indonesia, pengembangan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah di Indonesia mulai
mendapat tantangan. Para ulama kemudian mengatur strategi untuk menghadapinya
dengan mengintensifkan pertemuan-pertemuan yang akhirnya melahirkan NU. Dengan
tujuan utama adalah mengembangkan dan
melestarikan ajaran Islam Ahlussunah Wal Jamaah.
Dalam rangka pelestarian dan pengembangan Ahlussunnah Waljamaah NU
menempuh berbagai cara, baik jalur pendidikan, pengajian-pengajian, maupun amalan
tradisi yang menjadikan cirri khas warga NU. Melalui jalur pendidika, NU
mempunyai andalan pondok pesantren untuk mengembangkan Ahlussunnah Wal Jamaah.
Dengan meningkatkan silaturrahmi antara ulama
pesantren, NU memberikan motivasi untuk mengembangkan metode dan sisitem
pendidikan di pesantren. Materi pengajaran kitab-kitab kuning yang sudah
melembaga di pesantren juga tetap dipertahankan dengan cara mengadakan
penelitian terhadap kitab-kitab yang diajarkan untuk dapat diketahui, apakah
kitab-kitab itu hasil karya para ulama Ahlussunah wal Jamaah atau bukan.
Di samping itu telah didirikan lembaga-lembaga
pendidikan formal dalam pesantren maupun di luar pesantren yang mengajarkan
pendidikan agama Islam ala Ahlussunnah Wal Jamaah. Pendidikan formal ini terdiri
dari madrasah dan sekolah umum, juga perguruan tinggi.
Untuk menyatukan langkah pengajaran, telah
dirumuskan kurikulum yang dikeluarkan oleh Lembaga Pendidikan Maarif NU, yaitu
lembaga dalam NU yang bertugas membina dan mengembangkan pendidikan.
Nahdlatul Ulama tidak berhenti pada pendidikan di pesantren,
madrasah dan sekolah saja. Tetapi dalam rangka mengembangkan dan melestarikan
ajaran Islam Ahlussunnah Waljamaah, para ulama NU secara rutin memberikan
pengajian di masjid dan mushalla dengan membaca kitab-kitab yang kesemuanya
berdasarkan Madzhab Ahlussunnah Wal Jamaah.
Banyak strategi variatif untuk melestarikan
Ahlussunnah Wal Jamaah yang dilaksanakan di masyarakat untuk kalangan muda,
tua, pria ataupun wanita. Pelestarian Aswaja tidak dapat dipisahkan dengan
adat-istiadat di masyarakat. Sehingga adat yang dilaksanakan harus sesuai
dengan syariat Islam.[3]